Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima
hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari'ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.
Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bertambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
Baca Juga:
Baca Juga:
Hadiah yang telah mendapat izin dari oleh pemerintahannya atau instansinya.
Hadiah atasan kepada bawahannya.
Baca Juga:
Baca Juga:
Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain.
Demikian permasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi. Apatah lagi dengan perbuatan ghulul?
Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari `Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : "Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti ia telah berbuat ghulul (mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat".
Dia (`Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak berdiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: "Ya, Rasulullah, tawarkan pekerjaan kepadaku," beliau bersabda,"Apa gerangan?" Dia berkata,"Aku mendengar engkau baru saja berkata begini dan begini," lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Saya tegaskan kembali. Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya, ia ambil. Dan apa yang dilarang mengambilnya, ia tidak mengambilnya." (HR Muslim, no. 1833).
Solusi Suap dan Hadiah yang Haram
Permasalahan suap dan "pemberian hadiah" yang membudaya di masyarakat ini, dikenal di tengah masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan penyakit yang sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat Islam yang hanif ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan ironisnya banyak larangan yang dikerjakan.
Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan dilakukan, itu berarti menanam dan menebarkan kemaksiatan lainnya. Dia akan menggeser peran hukum, sehingga peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal untuk mendapatkan kebahagian, Islam haruslah dijalankan secara kafah (menyeluruh).
Secara singkat, solusi memberantas suap maupun penyakit sejenisnya, terbagi dalam dua hal.
Pertama. Solusi untuk individu dan masyarakat. Yakni dengan cara :
Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk umat yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan takwa ia mengetahui perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui laranganNya lalu menjauhinya.
Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan menghadirkan ke dalam hati besarnya dosa yang akan ditanggung oleh orang yang tidak menunaikan amanah. Dalam hal ini, peran agama memiliki pengaruh sangat besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang mulia.
Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa membahagiakan diri dengan harta bukanlah dengan cara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala , akan tetapi dengan mencari rizki yang halal dan hidup dengan qana'ah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberi berkah pada hartanya, dan ia dapat berbahagia dengan harta tersebut.
Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada kehidupan yang kekal, dan setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Semua perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah tentang hartanya, dari mana engkau dapatkannya, dan kemana engkau habiskan? Jika seseorang selamat pada pertanyaan pertama, belum tentu ia selamat pada pertanyaan berikutnya.
Kedua. Solusi untuk Ulil Amri (Pemerintah), yaitu :
Jika ingin membersihkan penyakit masyarakat ini, hendakah memulai dari mereka sendiri. Pepatah Arab mengatakan, raknyat mengikuti agama rajanya. Jika rajanya baik, maka masyarakat akan mengikutinya, dan sebaliknya.
Bekerjasama dengan para da`i untuk menghidupkan ruh tauhid dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika tauhid telah lurus dan iman telah benar, maka, semuanya akan berjalan sesuai yang diinginkan oleh setiap diri seorang muslim.
Jika mengangkat seorang pejabat atau pegawai, hendaklah mengacu kepada dua syarat, yaitu keahlian, dan Jika kurang salah satu dari dua syarat tersebut, tak mustahil terjadi kerusakan. Kemudian, memberi hukuman sesuai dengan syariat bagi yang melanggarnya.
Semua pejabat pemerintah seharusnya mencari penasihat dan bithanah (orang dekat) yang shalih, yang menganjurkannya untuk berbuat baik, dan mencegahnya dari berbuat buruk. Seiring dengan itu, ia juga menjauhi bithanah yang thalih.
Demikian yang dapat dikemukakan dalam permasalahan ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi kekuatan kepada kaum Muslimin untuk menegakkan agamanya pada kehidupan ini, sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a`lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1] Al Hawil Kabir, 19/180.
[2] Lihat Subulussalam, Shan`ani, 1/216.
[3] Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan definisi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, 4/336.
[4] Aqrabul Masalik, 5/341,342.
[5] Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154.
[6] Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88.
[7] Ahkamul Qur`an, al Qurthubi, 16/208.
[8] Al Mughni, 11/437.
[9] Ibid.
[10] An Nihayah, 2/226.
[11] Subulussalam, 1/216.
[12] Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240.
[13] Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya lil Muwazhzhafin, Dr. Abdurrahim al Hasyim, hlm. 27-29.
[14] Ibid, hlm. 35-79.
[15] Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
[16] Majumu` Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Authar, 10/259-261.
Source: suap-dan-hadiah.html" target="_blank">almanhaj.or.id
Tags
beritaTerkait
komentar